It’s February, it is the month of Love! Di bulan penuh cinta ini, bukan berarti kita merayakan cinta kita kepada orang lain saja melainkan dapat dimulai dengan Self-love! Menyayangi dan menghargai diri sendiri.
Self-love kadang disalah artikan seperti “Oh, it is Cheat Day!” jadi memakan junk-food berlebihan, rebahan seharian tidak mau olahraga dengan alasan ‘me time’, atau menonton drakor semalaman sampai subuh.
Apa benar seperti itu Self-Love?
Menurut pakar psikologi dunia Erich Fromm, hal yang disebutkan di atas bukanlah self-love namun selfishness(1). Kenapa bisa disebut selfishness? Karena menurut Fromm Self-love membuat seseorang bertumbuh dan mudah berbahagia dengan mengekspresikan kepedulian, penghormatan, pertanggungjawaban, dorongan untuk produktif juga berkembang melalui ilmu kepada diri sendiri.
Sebaliknya, selfishness menurut Fromm tindakan yang hanya tertarik pada dirinya sendiri, menginginkan segalanya untuk dirinya sendiri, hanya merasakan kepuasan ketika menerima tapi tidak ketika memberi. Ia tidak bisa melihat apapun kecuali dirinya sendiri. Hal ini terjadi bukan karena ia terlalu mencintai dirinya sendiri, namun ia mencintai dirinya sendiri dengan kapasitas yang sangat kecil sehingga ia merasakan kurangnya rasa kasih sayang.
Kurangnya rasa kasih sayang pada diri sendiri ini membuat orang frustasi hingga stress sehingga mencari pengganti rasa kasih sayang itu di luar dirinya(2). Pengganti kasih sayang ini cenderung pada hal-hal yang tidak produktif bahkan self-destructive dan tidak akan pernah menjadi pengganti kasih sayang yang sepadan. Karena tidak sepadan maka harus dilakukan terus menerus hingga menjadi candu. Dapat dikatakan bahwa Addiction is a poor substitution of love(3).
Kita banyak membaca quote yang bertebaran di social media bernada seperti “accept yourself as who you are,” Quote itu memang bagus, namun jika kita memiliki kebiasaan untuk overeating, tidak mau berolahraga dan rebahan seharian apakah kita akan menerimanya begitu saja? Lagi-lagi tindakan semacam itu bukan self-love tapi selfishness.
Dengan melakukan tindakan semacam itu kita hanya mengejar kepuasan sementara. Pada akhirnya kepuasaan sementara yang terus kita cari akan mengantarkan kita pada penderitaan(4). Karena ketika kita mengejar kepuasan sementara terus menerus otak kita akan beradaptasi dan tidak merasakan kepuasan itu lagi. Akhirnya kita akan meningkatkan kegiatan kita, seperti memakan lebih banyak junk-food lagi agar merasakan kepuasan seperti yang kita rasakan dulu.
Dengan begitu otak kita akan semakin lemah untuk merasakan kepuasan dan semakin rentan untuk merasakan penderitaan. Bisa dikatakan menerima diri yang mengejar kepuasan sementara terus-menerus sama sekali bukan self-love tapi selfishness. Karena yang kita terima bukanlah diri kita yang sebenarnya, melainkan diri kita yang terbiasa terus menerus melakukan selfishness demi merasakan kepuasan sementara.
Pada dasarnya diri kita yang sebenarnya adalah diri yang mudah untuk mencintai, melihat masalah sebagai tantangan untuk bertumbuh, mudah untuk bersenang-senang dan bahagia, mudah terpukau dengan hal-hal kecil(5). Namun diri ini tertutupi oleh selfishness yang terbiasa kita lakukan karena kurangnya kasih sayang. Self-love adalah langkah untuk memenuhi rasa kasih sayang itu dengan benar sehingga diri kita yang sebenarnya secara alami akan muncul kembali.
Secara sederhana self-love memiliki tiga komponen utama dalam menerapkannya yaitu(6): (a)
Memperlakukan diri sendiri dengan penuh penghormatan dan kebaikan daripada selalu mengkritisi diri sendiri dengan keras. (b) Melihat kegagalan sebagai pengalaman manusia yang sangat wajar untuk dialami siapapun daripada dosa besar yang tidak boleh dilakukan. (c ) Menyambut pengalaman yang menyakitkan dengan mindfulness daripada menghindarinya dan overidentifying pengalaman tersebut.
Ketika kita menerapkan self-love kita akan melakukan hal yang produktif, seperti memakan makanan sehat, berolahraga secara rutin, hingga bermeditasi. Aktivitas ini dilakukan bukan karena merasa ada sesuatu yang kurang terhadap diri kita sendiri, namun karena kita memperlakukan diri kita dengan penuh hormat dan kebaikan.
Ketika melakukan sesuatu, misalnya mencoba plant-based selama satu bulan, dengan self-love kita akan melakukannya dengan senang hati daripada tersiksa pada prosesnya. Bahkan ketika kita gagal melakukannya kita tidak kecewa terhadap diri sendiri hingga membenci diri sendiri. Namun kita akan mengapresiasi perolehan kita yang telah kita dapatkan dan mencoba memulai lagi dengan semangat.
Selain itu, self-love juga membantu kita untuk tidak terjebak di dalam perasaan negatif dengan jangka waktu yang lama. Karena dengan self-love kita akan mengapresiasi seluruh perasaan yang datang pada kita dan tidak menolaknya. Perasaan bagaikan ombak yang datang dan pergi sedangkan hati orang yang menerapkan self-love seperti samudera yang menerima ombak yang datang dan pergi dengan tenang.
Self-love membuat kita mudah berbahagia dan bertumbuh yang dalam proses pertumbuhan untuk menjadi diri yang lebih baik itu kita menikmati prosesnya. Sedangkan selfishness hanyalah tindakan yang hanya mengejar kepuasan sementara akibat kurangnya rasa kasih sayang dalam diri. Maka tindakan seperti memakan junk-food, rebahan tanpa olah raga, menonton drakor hingga subuh adalah selfishness.
Karena self-love memunculkan diri kita sebenarnya yang mudah berbahagia dan memperlakukan diri dengan kebaikan dan penghormatan. Sehingga kita bisa hidup dengan potensi terbaik yang ada di dalam diri kita.
Reference:
(1) The Art of Loving - Erich Fromm
(2) (3) In the Realm of Hungry Ghosts: Close Encounters with Addiction - Gabor Maté
(4) Dopamine Nation: Finding Balance in the Age of Indulgence - Anna Lembke
(5) Radical Compassion - Tara Brach
(6) The Development and Validation of a Scale to Measure Self-Compassion - Kristin D. Neff