Why do most New Year's Resolutions fail?

Why do most New Year's Resolutions fail?

Why do most New Year's Resolutions fail?

A way to be a Better Self (Part I)

 

Tahun baru selalu menjadi awal untuk memulai perjalanan baru untuk menjadi a better self dengan resolusi tahun baru yang sudah direncanakan dengan baik. Namun bagi kebanyakan orang resolusi itu hanya menjadi list saja ketika memasuki pertengahan tahun. Kebanyakan tidak dilakukan lagi dan bahkan dilupakan begitu saja. 

 

Seperti pada penelitian ini, diungkapkan bahwa hanya 40% saja dari 213 orang yang berhasil menjalani Resolusi Tahunnya hingga enam bulan ketika memasuki tahun baru. Bukan karena mereka tidak memiliki keinginan kuat, justru partisipan yang gagal adalah mereka yang memiliki keinginan kuat untuk berubah. 

 

Wah, kenapa ya seseorang yang memiliki keinginan kuat malah gagal dalam menjalani resolusi tahun barunya? 

 

The motivation comes from a wrong place

Kebanyakan kegagalan dalam menjalani resolusi tahun baru adalah karena motivasi untuk berubah datang dari luar. Misalnya tubuh kita tidak sesuai dengan standar tubuh ideal di lingkungan kita. Akhirnya kita malu terhadap diri kita sendiri dan bahkan membenci diri kita sendiri. Atas dasar kebencian itu maka kita ingin berubah agar kita bisa seperti orang lain. 

 

Padahal self-hatred tidak memberi semangat untuk berubah namun memberi masalah lain. Self-hatred telah terbukti menjadi alasan seseorang mempunyai destructive eating habit, selalu tidak puas dengan penampilan fisik, sulit menjalani hubungan interpersonal, hingga self-harm. Maka dengan penyikapan ini, sejak awal seseorang sudah merasa tidak akan pernah cukup terhadap dirinya sendiri entah apapun yang dilakukannya. Sehingga ia merasa perubahan yang dilakukannya tidak ada artinya karena pada dasarnya ia akan selalu merasa kurang. 

 

Doesn’t know where their bad habits come from

Kebanyakan dari kita ingin mengubah kebiasaan buruk kita, tapi apakah kita pernah menanyakan dari mana datangnya kebiasaan buruk ini? Mengapa kita memiliki kebiasaan buruk ini? Dan apa tujuannya kita memiliki kebiasaan buruk ini? 

Dr. Gabor Mate menjelaskan pada bukunya The Realm of Hungry Ghost bahwa seseorang mempunyai kebiasaan buruk karena memiliki luka batin. Luka batin ini ada karena seseorang mengalami trauma, entah karena perlakuan tidak pantas ketika kecil, kehilangan seseorang yang dicintai, dan kejadian traumatis lainnya. Agar luka batin ini tetap tolerable seseorang melakukan adaptasi melalui coping mechanism dengan cara yang cenderung destruktif. 

 

Jadi kita memiliki kebiasaan buruk agar luka batin dalam diri kita tetap dapat tolerable. Jadi kebiasaan buruk ini adalah misguided protector terhadap luka batin kita. Misguided, karena dengan perlindungan semacam itu kita secara tidak sadar melakukan sesuatu yang destruktif pada diri kita sendiri. Namun tanpa kebiasaan buruk itu kita akan langsung berhadapan dengan luka batin kita. Jika diri kita tidak siap maka bisa berdampak serius terhadap mental health kita. 

 

Lalu apakah kebiasaan buruk ini tidak perlu diubah? Tentu perlu dong! Karena kebiasaan buruk ini juga destruktif pada diri kita sendiri, namun mengubahnya harus dengan langkah yang benar. 

 

Doesn’t know how to regulate stress

Pernah tau nggak kalau orang yang berlebihan berat badan dan sudah menyadari bahwa eating habit-nya salah namun ketika menghadapi situasi stress dia malah makan secara tidak sehat dengan porsi yang berlebihan? Seperti yang dijelaskan oleh Mate diatas bahwa kebiasaan buruk adalah misguided protector untuk menghadapi luka batin kita. Kebiasaan buruk itu juga merupakan coping mechanism untuk menghadapi stress. 

 

Di bukunya yang lain, When the Body Says No, Mate mengatakan bahwa kebiasaan buruk itu merupakan penebusan perasaan yang tak terpenuhi. Misalnya seorang anak mengalami perundungan, namun ketika ia bercerita pada orang tuanya, orang tuanya mengatakan padanya untuk menjadi anak yang kuat. Yang ia butuhkan adalah kepedulian dari orang tuanya atau kasih sayang dari orang tuanya yang tanpa syarat mau mendengarkan keluh kesah anak itu. 

 

Karena orang tuanya sendiri tidak mau mendengarkan dia, dan perundungan ini terus terjadi, maka ia harus memiliki coping mechanism untuk menghadapi situasi tersebut. Misalnya dengan merokok atau memakan makanan yang memiliki self-reward yang cepat yaitu yang mengandung banyak gula. Coping mechanism ini tidak bisa menebus rasa untuk dipedulikan, didengarkan dan disayangi tanpa syarat sehingga harus dilakukan terus menerus, apalagi ketika menghadapi stress. 

Jadi, kebiasaan buruk ini juga misguided protector untuk menghadapi situasi stress. Sehingga untuk mengubah kebiasaan buruk ini diperlukan cara untuk meregulasi stress maka nanti secara alamiah kebiasaan buruk itu dapat diubah. 

 

Then, what should we do? 

Pada dasarnya, berdasarkan penjelasan di atas, kebiasaan buruk yang kita lakukan adalah act of denial terhadap luka batin kita atau situasi stress demi melindungi diri kita sendiri. Namun karena kebiasaan buruk adalah misguided protector. Kita memerlukan the true protector untuk menghadapi luka batin dan situasi stress kita. Yaitu, mindfulness! 

 

 

Mindfulness

Menurut guru meditasi terkemuka di dunia Thich Nhat Hanh pada bukunya The Miracle of Consciousness, mindfulness adalah memastikan kesadaran kita fokus pada maka terkini setiap waktu. Tidak terpaku dengan kekhawatiran pada masa depan. Dan terhantui oleh masa lalu.

 

Tara Brach Ph.D dalam bukunya Radical Compassion mengatakan bahwa kebiasaan buruk itu ada karena kita menolak luka batin kita dan situasi stress di hadapan kita. Sehingga kita terbiasa untuk melakukan kebiasaan itu hingga menjadi sifat kita. Penolakan itu menjadikan kita mudah bereaksi dengan marah-marah, mudah cemas, defensive, memiliki candu yang destruktif, yang menjauhkan kita dari hidup yang jujur terhadap diri kita sendiri. 

 

Ketika kita menghadapi kebiasaan buruk kita dengan mindful, allowing presence, kita dapat mengakses potensi penuh dalam diri kita yang sesungguhnya. Potensi itu dapat diraih dengan kekuatan yang terletak pada acceptance of who we truly are. Kekuatan itu dapat membantu kita berekonsiliasi dengan diri kita sendiri yang memiliki kebiasaan buruk. Kita dapat mengekspresikan ide kita yang selama ini kita sembunyikan dan menjauhkan diri kita dari authenticity. 

 

Brach menawarkan meditasi RAIN (Recognize, Allow, Investigate, and Nurture) untuk melatih kemampuan mindfulness dalam diri.  

 

RAIN Meditation 

Meditasi ini ditujukan agar kita bisa menerima segala sesuatu yang terjadi di dalam diri kita tanpa melakukan perlawanan. Meditasi ini memiliki empat langkah, mari cari tempat yang nyaman, duduk dengan nyaman dan mulai menyadari tarikan dan hembusan nafas kita. 

 

Langkah pertama adalah Recognize (R), di sini kita dianjurkan untuk tidak reaktif terhadap emosi kita namun sekedar disadari saja dengan duduk yang tenang dan bernafas panjang. Misalnya kita sedang dalam keadaan anxious, kita tidak perlu mengekspresikannya dengan marah-marah atau diam membatu hingga pergi ke kamar mandi untuk bisa menangis selama berjam-jam. Namun hanya disadari saja, oh saya sedang anxious. 

 

Langkah kedua adalah Allow (A) yaitu mengizinkan kita untuk merasa anxious meskipun tidak nyaman. Tidak perlu menghakimi diri kita sendiri mengapa kita harus anxious dan berusaha menolak agar tidak anxious. Tapi izinkan dan biarkan kita merasa anxious dengan tenang meskipun tidak nyaman. 

 

Lalu masuk pada langkah yang ketiga yang menurut Tara Brach merupakan langkah yang tersulit, yakni Investigate (I). Ketika sudah mengizinkan untuk merasa anxious kita coba fokuskan perhatian bagian tubuh mana yang bereaksi tidak nyaman, misalnya pundak terasa rapat dan panas, dada tegang, dan lain sebagainya. Karena seluruh perasaan merupakan sinyal atas sesuatu, coba kita cari tahu kenapa kita merasa anxious yang mungkin karena kita takut gagal, takut dimarahi dan seterusnya. 

 

Terakhir kita masuk pada langkah Nurture (N), setelah mengetahui maksud sinyal emosi kita, saatnya untuk mengirim pesan pada diri kita sendiri. Misalnya “Tidak apa-apa, sweetheart. Kita akan baik-baik saja, kita sudah melewati fase ini berkali-kali,” dengan begitu kita akan merasakan kehangatan, energi yang nyaman menyebar dalam tubuh kita. Mungkin kita akan merasakan hati kita lebih lembut, pundak kita santai dan pikiran kita lebih cerah dan terbuka. 

 

Atau PURA Family bisa mencoba meditasi ini dipandu oleh Tara Brach sendiri dengan mengklik tautan ini

 

Pada dasarnya, dengan RAIN ini kita tidak buru-buru mengambil langkah reaktif pada emosi kita, karena jika reaktif kita akan autopilot dan bisa menyakiti tidak diri kita sendiri tapi orang lain dengan emosi kita. Menggunakan metode ini akan membuat kita memiliki skill untuk membuat jarak dengan emosi kita daripada terkendalikan olehnya. Setelah ada jarak barulah kita merespon emosi kita dengan kindness. Yap, jika disederhanakan semua ini sampailah kita pada kesimpulan, perlakukan emosimu sendiri dengan kindness

 

Nah! Sekarang kalau PURA Family sudah memiliki mindset dan penyikapan yang tepat terhadap diri sendiri, sudah saatnya membuat New Year’s Resolutions! Namun jangan lupa ya kuncinya, harus dengan kindness!